TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

KETUA MAHKAMAH AGUNG HARUSNYA MUNDUR


Oleh Miko Kamal
Advokat dan Wakil Rektor III UISB

Empat orang hakim ditangkap, tanggal 12 dan 13 April 2025 yang lalu. Inisialnya A, ASB, AM dan MAN. Mereka diduga tersangkut dalam suap-menyuap putusan lepas (Onslag van alle rechtsvervolging) kasus ekspor Crude Palm Oil yang melibatkan 3 grup perusahaan sawit.

Penangkapan hakim bukan hal baru, tapi cerita lama yang terus berulang dari waktu ke waktu. Menurut catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), dalam rentang tahun 2011-2024, sebanyak 29 hakim ditangkap karena menerima suap dari pihak yang berperkara (Kompas.com, 16/4/2025).

Secara prosentase, jumlah itu memang tidak banyak. Sekitar 0,5% saja dari 7.742 hakim yang tersebar di seluruh Indonesia (CNN Indonesia, 2/4/2024). Tapi, dari sudut pandang konsepsi "Wakil Tuhan", itu masalah besar.

"Wakil Tuhan" seharusnya suci dari segala dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Sebab itu, sejatinya, mereka harus dihormati. Sebagai orang suci dan terhormat, "Wakil Tuhan" tidak pantas dipermalukan seperti kemarin itu: digiring ke dalam penjara di bawah sorotan kamera dengan kedua tangan terpasang borgol dan mengenakan rompi oranye.

Tidak sekadar dihormati, hakim juga harus dimuliakan. Sebagai "Wakil Tuhan", hakimlah satu-satunya profesi yang diberikan wewenang mewujudkan keadilan di muka bumi bagi siapa saja yang berhak. Dalam rangka menghormati profesi hakim, di ruang-ruang sidang mereka dipanggil dengan panggilan "Yang Terhormat" atau "Yang Mulia". 

Menurut saya, ada satu sebab utama mengapa dari waktu ke waktu hakim terus ditangkap. Yaitu, tidak diadopsinya prinsip Command Reponsibility (CR) oleh UU Mahkamah Agung.

CR biasa dipraktikkan dalam hukum pidana Internasional. Singkatnya CR itu begini: seorang komandan bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukan anak buahnya. Syaratnya tentu ada, yaitu ketika kejahatan terjadi, sang komandan berada dalam posisi dapat mencegah dan mengetahui atau semestinya mengetahui kejahatan tersebut akan terjadi. Sederhannya, CR menjalankan prinsip "kesalahan anak buah adalah kesalahan pemimpin".   

Dalam konteks Mahkamah Agung, Ketua Mahkamah Agung adalah komandan tertinggi di institusinya. Sebagai komandan, beliau punya kewajiban memantau dan mengawasi perilaku hakim. Itu bukan karangan saya. Tapi, itu kata hukum yang tertulis jelas di dalam Pasal 32 ayat (2) UU Mahkamah Agung.       

Meskipun UU Mahkamah Agung yang berlaku sekarang tidak memuat perintah pencopotan ketua Mahkamah Agung ketika anak buahnya kedapatan menerima suap, peluang menerapkan CR masih tetap ada. Tapi, basis penerapannya adalah kesukarelaan (voluntary base). Maksudnya, karena Ketua Mahkamah Agung malu dengan perilaku anak buahnya, beliau dengan sukarela mengundurkan diri dari jabatannya.

Pasal 11 huruf c UU Mahkamah Agung bisa dijadikan sandaran. Pasal itu berbunyi bahwa Ketua Mahkamah Agung beserta pimpinan lainnya dapat diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden "atas permintaan sendiri secara tertulis".

Idealnya, prinsip CR memang harus dituliskan jelas di dalam UU Mahkamah Agung. Kira-kira rumusannya begini: Ketua Mahkamah Agung diberhentikan dari jabatannya oleh Presiden bila hakim yang berada dalam pengawasannya menerima suap dan/atau tindak koruptif lainnya.

Memperbaiki institusi Mahkamah Agung beserta perangkat di bawahnya bukan sekadar memperbaiki marwah "Wakil Tuhan". Lebih dari itu, negeri ini mesti diselamatkan. Pertumbuhan ekonomi 8% dan Indonesia Emas 2045 hanya sekadar omon-omon bila Mahkamah Agung dan institusi penegak hukum lainnya tidak diperbaiki.

Sekarang, sembari menunggu UU Mahkamah Agung baru yang mengadopsi prinsip CR, kita imbau saja dulu Ketua Mahkamah Agung untuk mundur dari jabatannya secara sukarela. Mudah-mudahan Ketua Mahkamah Agung punya rasa malu dan standar moralitas tinggi yang bergetar hatinya membaca imbauan ini. Lalu, besok pagi beliau muncul di depan layar televisi mengumumkan pengunduran dirinya.



Komentar0

Type above and press Enter to search.