TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

NOBEL EKONOMI 2024 DAN PEMBANGUNAN SUMBAR

                                                                                 Miko Kamal                                                                                                                              Wakil Rektor III UISB dan Ketua Peradi Padang
                                                                                                                     

ESSAPERS.COM ~ Saya senang, bisa ikut serta dalam forum diskusi berkelas di Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Unand pada Kamis 16/1/2025. Diskusi itu membahas pokok pikiran peraih Nobel Ekonomi tahun 2024 dihubungkan dengan pembangunan Sumatera Barat. Banyak benar saya dapat ilmu dari diskusi itu, di luar bidang ilmu yang selama ini saya tekuni.

Peraih Nobel Ekonomi 2024 ada tiga orang: Daron Acemoglu, Simon Johnson dan James Robinson. Dua nama pertama berasal dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) dan nama terakhir adalah seorang akademisi dari the University of Chicago.

Yang diberikan kesempatan pertama berbicara adalah Dr. Zulfan Tadjoeddin. Beliau Associate Professor dari Western Sydney University Australia. Teman lama saya semasa kuliah di Sydney dulu. Kesempatan kedua diberikan kepada mantan Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas Andrinof Chaniago. Saya bicara pada kesempatan keempat, setelah Prof. Asrinaldi dari FISIP Unand.

Pokok-pokok pikiran para penerima Nobel ini dapat dilacak dalam beberapa karya ilmiah mereka sebelumnya. Karya utama mereka adalah buku yang berjudul "Why Nations Fail: The Origins of Power, Prosperity, and Poverty", ditulis oleh Daron Acemoglu dan James Robinson yang diterbitkan pada tahun 2012.  

Di dalam buku itu, Acemoglu dan Robinson berpendapat bahwa institusi politik dan ekonomi sangat penting perannya dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat sebuah negara. Menurut mereka, institusi politik dan ekonomi terbagi 2: (1) institusi politik dan ekonomi yang inklusif dan (2) institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif. Dan kata mereka, hanya negara-negara yang memilih jalur institusi politik dan ekonomi yang inklusif saja yang bisa memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya.

Sebaliknya, negara-negara yang memelihara institusi politik dan ekonomi yang ekstraktif akan terperangkap menjadi negara miskin atau negara yang tidak bisa mempersembahkan kemakmuran kepada rakyatnya.

Acemoglu dan Robinson mendefinisikan institusi politik inklusif sebagai institusi yang melibatkan partisipasi publik secara aktif dalam proses politik. Ciri utama instansi politik inklusif adalah terbukanya ruang akses politik bagi rakyat, bekerjanya sistim check balances untuk membatasi kesewenangan pemegang kekuasaan, dan eksisnya prinsip rule of law yang melindungi segenap warga negara.

Sementara itu, institusi politik ekstraktif adalah institusi politik dimana kekuasaan politik menumpuk di tangan segelintir orang (penguasa dan orang-orang di sekelilingnya) tanpa tersedianya sistim checks and balances dan lemahnya rule of law.

Saat diberikan kesempatan berbicara, saya langsung saja masuk ke konteks Sumatera Barat. Prinsipnya saya setuju dengan yang disampaikan peraih Nobel Ekonomi 2024 itu. Institusi politik yang ideal memang mesti mengandung ciri seperti yang disampaikan Acemoglu dan Robinson: akses politik terbuka bagi rakyat, sistim check balances bekerja dengan baik, dan hak-hak rakyat terlindungi di bawah prinsip rule of law.
 
Dalam konteks Sumatera Barat (juga Indonesia secara umum), paling tidak ada 4 faktor yang mempengaruhi pembentukan wajah institusi politik di sebuah negara (baca juga daerah), yaitu biaya politik, kualitas aparat penegak hukum, perilaku masyarakat dan peran lembaga politik.

Pertama, biaya politik. Biaya politik akan membentuk model institusi politik di daerah. Biaya politik yang mahal (apalagi sangat mahal) untuk menjadi kepala daerah cenderung akan melahirkan institusi politik ekstraktif. Pada Pilkada 2024, Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi Sumatera Barat menetapkan batas tertinggi dana kampanye bagi pasangan calon adalah sebesar Rp. 272 Miliar (Antara, 1/10/2024). Untuk Kota Padang, batas tertingginya Rp. 88,7 Miliar (Kompas, 9/10/2024).

Dari angka itu, kita jadi paham bahwa negara dengan sadar telah merancang Pilkada berbiaya sangat mahal. Katakanlah, kita ambil contoh Kota Padang, dana kampanye yang dikeluarkan pasangan calon setengah saja dari batas maksimal yang ditetapkan KPU itu, yaitu sebesar Rp. 44,35 Miliar). Bandingkan dengan pendapatan Walikota Padang (gaji + upah pungut dll) yang tidak lebih dari Rp. 100 Juta/bulan atau Rp. 1,2 Miliar/tahun atau Rp. 6 Miliar/5 tahun.

Pertanyaan terkait konsep institusi politik Acemoglu dan Robinson: apakah logis kita berharap akan terbentuk institusi inklusif berangkat dari realitas biaya politik yang mahal?

Menurut saya, biaya politik yang mahal memaksa para kepala daerah terpilih memilih menggunakan institusi politik ekstraktif. Tujuannya satu saja: mengembalikan biaya politik yang sudah dikeluarkan selama proses kontestasi.

Kedua, kualitas aparat penegak hukum. Perilaku penegak hukum juga sangat menentukan bentuk institusi politik. Penegak hukum yang ikut cawe-cawe dalam pengaturan dan pelaksanaan proyek-proyek fisik dan non-fisik yang dibiayai negara dan/atau daerah akan melahirkan institusi politik ekstraktif.

Di kita dan juga di daerah-daerah lainnya di Indonesia, sudah jamak diketahui, sebagian aparat penegak hukum menggunakan kewenangan secara salah melakukan pemeriksaan terhadap aparat pemerintah penanggung jawab proyek-proyek yang ujung-ujungnya adalah pemberian uang-uang yang tidak jelas kepada penegak hukum yang cawe-cawe. Singkatnya, untuk melayani aparat penegak hukum yang cawe-cawe, kepala daerah akan cenderung memilih institusi politik ekstraktif ketimbang institusi politik inklusif.  

Ketiga, perilaku masyarakat. Sejak Pilkada langsung mulai diperperkenalkan, masyarakat kita sudah berubah menjadi masyarakat yang mata duitan. Suara mereka dikonpensasikan dengan uang senilai Rp. 100.000 sampai Rp. 500.000 atau sekantong sembako. Di tengah-tengah masyarakat berkembang istilah "No Money No Vote" (tidak ada uang tidak ada suara).

Fakta ini bukan murni kesalahan masyarakat. Ini buah dari "pelajaran salah" para politisi kepada rakyat berderai. Masyarakat diajar menikmati politik uang pada setiap pemilihan, baik pemilihan legislatif, presiden dan kepala daerah.

Banyaknya uang yang harus disediakan calon kepala daerah untuk rakyat yang mata duitan berkonsekuensi pada semakin membesarnya biaya kampanye. Ujungnya, kepala daerah yang terpilih dengan biaya besar akan mempraktikkan institusi politik ekstraktif dalam pemerintahannya.

Keempat, peran lembaga politik. Lembaga politik juga sangat berperan dalam membentuk wajah institusi politik. Dalam pencalonan seseorang menjadi kepala daerah, partai politik adalah aktor penting yang menyebabkan biaya politik menjadi sangat mahal.

Dalam praktik umum, partai politik akan memungut biaya pendaftaran, uang deposit, biaya mendapatkan dukungan dan lain-lain sebagai syarat untuk ikut kontestasi. Besarnya biaya politik yang harus dikeluarkan setiap pasangan calon kepala daerah akan mendorong terbentuknya institusi politik ekstraktif bila mereka memerintah kelak.

Saya paham bahwa keempat faktor yang saya sebutkan di atas bukanlah the only 4 faktor yang menjadi penyebab tidak eksisnya institusi politik inklusif di Sumatera Barat, termasuk juga di Indonesia secara umum. Banyak faktor lain yang tentu tanggung jawab pakar-pakar lain menjelaskannya.

Tapi, bagi saya, sepanjang 4 hal yang saya sebutkan di atas tidak dibenahi, institusi politik inklusif yang dikatakan Acemoglu dan kawan-kawan hanya sebatas mimpi saja.

Komentar0

Type above and press Enter to search.