TUd7GSW9TpA6TSG7GUA7BSziGi==

Penjual Kerupuk Palembang dan Beban Biaya Pendidikan

Miko Kamal

ESSAPERS.COM | PADANG ~ Namanya Ita. Saya tidak tahu nama lengkapnya. Usianya sekitar 36 tahun. Tinggal di Kampung Baru Nanggalo Kota Padang. Ita hidup sendiri. Suaminya sudah menjauh sejak 3,5 tahun yang lalu. Tidak tahu persis dia apa alasan suaminya pergi jauh. Mungkin karena tekanan ekonomi, atau sebab lain. Entahlah. 

Ita belum mau disebut janda. Sebab, belum ada kata talak dari bapak anak-anaknya, apalagi surat cerai dari pengadilan agama. Ita beranak 3. Dua diantaranya sedang menjalankan kewajiban yang dibebankan negara kepada mereka: bersekolah di SD Negeri 20 Kurao Padang. Yang satu kelas 5, satunya lagi kelas 4. Anak bungsunya belum lagi bersekolah, baru berusia 3,5 tahun.

Ita berjualan keliling menggunakan gerobak bangunan. Gerobak yang biasa digunakan tukang membawa semen, pasir atau material bangunan lainnya. Kerupuk yang dijualnya. Aneka kerupuk: ada Kerupuk Palembang, kerupuk kulit ada juga. Sebungkus besar kerupuk dijualnya Rp. 12.000. Modalnya Rp. 11.000. Beruntung dia Rp. 1.000 untuk setiap sebungkus kerupuk yang terjual.

Sehari, Ita bisa menjual 30 bungkus kerupuk. Jika sedang berezeki, kerupuknya bisa terjual 60 bungkus. Berarti, jika 60 bungkus kerupuk terjual, Ita dapat untung Rp. 60.000 per-hari. Jika yang terjual kurang dari itu, hitung sendirilah berapa uang yang bisa dibawa Ita ke rumahnya.   

Dengan pendapatan sebanyak itulah Ita menyambung hidupnya dan keluarganya dari hari ke hari.

Ita sedikit beruntung karena tinggal di rumah orang tuanya. Sewa rumah tidak jadi bebannya. Hanya token listrik yang harus tetap berisi yang perlu dipikirkannya. 

Sekarang yang jadi beban beratnya adalah biaya pendidikan kedua anaknya. Sekolah di SD Negeri memang gratis. Tidak ada uang sekolah bulanan serupa di sekolah swasta. Beban itu bernama uang pembeli Lembar Kegiatan Siswa (LKS). Buku tipis yang rata-rata berjumlah 100 lembar itu harus dibelinya seharga Rp. 16.000 untuk satu mata pelajaran. Dalam satu semester, mata pelajaran ada 9. Berarti, Ita harus mencarikan uang sebesar Rp. 288.000 dalam satu semester untuk kedua anaknya.

Bagi orang tua yang bergaji 5 sampai 10 juta sebulan, angka Rp. 288.000 dalam 6 bulan tidaklah besar. Tapi bagi Ita yang hanya berpenghasilan 30 ribu sampai 60 ribu sehari, itu besar. Berat baginya. Tak jarang Ita mesti bernapas ke luar badan. Meminjam kepada tetangga atau kenalan lainnya salah satu jalan keluarnya.     

Kamis, 29 Agustus kemarin, kami ikut berpartisipasi meringankan beban hidup Ita. Rang Mudo Palito Pendidikan bekerja sama dengan Miko Kamal Centre (MKC) melunasi tunggakan pembayaran LKS kedua anak Ita di SD Negeri 20 Kurao Padang. Kami juga membayarkan sebagian hutangnya kepada tetangga yang baik hati.

Soal penting yang saya tulis ini bukan siapa yang membayarkan hutang Ita. Soal pentingya ada pada kebijakan Pemerintah menjual LKS kepada siswa seluruh Indonesia. Teorinya, LKS memang tidak wajib dibeli. Jika tidak punya uang, anak-anak bisa meminjam LKS kawannya untuk digandakan (foto copy). Harga selembar foto copy Rp. 200. Untuk satu LKS uang foto copy yang harus disediakan orang tua sebesar Rp. 200 x 100 lembar. Jumlahnya Rp. 200.000. Justeru lebih besar? Yes, logikanya memang buruk. Kira-kira begini logikanya: jika tidak punya uang pembeli LKS sebesar Rp. 144.000, carilah uang Rp. 20.000 untuk biaya foto copy.

Logika buruk lainnya adalah soal kebijakan pembuatan LKS yang terpisah dari Buku Ajar atau Buku Tema. Mengapa mesti dipisahkan? Apa urgensinya? Mestinya Buku Tema dan LKS disatukan saja. Secara bisnis itu akan menekan biaya produksi. Orang-orang yang biasa main di penerbitan dan percetakan buku tahu benar tentang ini.

Oh ya, saya baru ingat. Buku Tema gratis untuk siswa, karena dibelikan dengan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah). Jika Buku Tema disatukan dengan LKS tentu tidak ada bisnis yang dapat dijalankan dengan Ita penjual Kerupuk Palembang atau orang-orang yang senasib dengan Ita.

Seburuk itukah logika Pemerintah melahirkan kebijakan bisnis LKS? Wallahualam. Hanya Mas Menteri Nadiem, para Kepala Dinas Pendidikan dan orang-orang di bawahnya yang bisa menjelaskannya.


Oleh Miko Kamal
Pendiri dan Pembina MKC dan WR III Universitas Islam Sumatera Barat
Padang, 30/8/2024

Komentar0

Type above and press Enter to search.